Wakil Gubernur Bali Nyoman Giri Prasta membacakan pendapat Gubernur Bali, terhadap penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Layanan Angkutan Sewa Khusus Pariwisata (ASKP) Berbasis Aplikasi di Provinsi Bali dan Raperda tentang Penyelenggaraan Keterbukaan Informasi Publik, Senin (8/9/2o25) pada paripurna Ke-317 di Wiswa Sabha, Renon, Denpasar.
Disampaikan bahwa perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan layanan Angkutan Sewa Khusus (ASK) berbasis aplikasi, yang menjadi salah satu alternatif wisatawan karena kemudahan, kepastian tarif, dan kenyamanan layanan. Akan tetapi, di sisi lain, keberadaan layanan daring ini menimbulkan sejumlah permasalahan, di antaranya:
A. Masih ditemukan kendaraan menggunakan plat luar daerah yang digunakan untuk melayani angkutan umum; B. Masih ditemukan angkutan umum yang digunakan untuk pariwisata tidak memiliki izin penyelenggara; C. Persaingan tidak sehat dengan pelaku lokal; D. Konflik antara usaha transportasi lokal dengan penyedia aplikasi; dan E. Tidak adanya standarisasi layanan angkutan umum untuk pariwisata di Bali.
Menyimak persoalan di lapangan, maka diperlukan regulasi untuk melindungi pelaku usaha lokal, memberikan kepastian hukum untuk menjaga nilai-nilai budaya Bali.
“Raperda ini sangat tepat untuk menjawab tantangan pertumbuhan layanan transportasi online di Bali, khususnya yang berorientasi pada pariwisata serta untuk membenahi pengaturan sistem angkutan tidak dalam trayek yang tidak sesuai dengan karakteristik permintaan angkutan di Bali,” terang Giri Prasta.
Giri Prasta membacakan masukannya terhadap Raperda tentang Penyelenggaraan Layanan Angkutan Sewa Khusus Pariwisata Berbasis Aplikasi di Provinsi Bali, untuk menyempurnakan aspek teknik penyusunan dan substansi, sebagai berikut:
1. Provinsi Bali mendukung pengaturan yang mewajibkan kendaraan yang dioperasikan sebagai Angkutan Sewa Khusus Pariwisata (ASKP) berada dalam penguasaan badan usaha berbadan hukum Indonesia guna menjamin profesionalisme, akuntabilitas, dan kepastian hukum penyelenggaraan angkutan pariwisata. Namun, perlu diperhatikan implikasi terhadap skema kepemilikan kendaraan, yaitu:
2. Apabila Perusahaan Angkutan berbadan hukum berbentuk Perusahaan (PT/BUMN/BUMD), karena izin penyelenggaraan dan Kartu Elektronik Standar Pelayanan (KESP) diterbitkan atas nama badan hukum dan daftar kendaraan melekat pada izin perusahaan, praktik pembinaan mengharuskan kendaraan yang dioperasikan berada dalam penguasaan penuh perusahaan (umumnya STNK atas nama perusahaan) agar tanggung jawab layanan, keselamatan, dan penegakan sanksi jelas (penjelasan ini merupakan inferensi kebijakan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2018 tentang Angkutan Sewa Khusus Pasal 12, Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 30).
3. Apabila Perusahaan Angkutan berbadan hukum berbentuk koperasi, mengingat koperasi menghimpun anggota dan Permenhub 118/2018 juga membuka ruang pelaku usaha mikro/kecil, banyak daerah menerapkan skema di mana kendaraan tetap atas nama anggota tapi terdaftar dan berKESP atas nama Koperasi serta diikat perjanjian kemitraan/penyerahan penguasaan untuk operasional. Skema ini menjaga kepastian hukum tanpa mewajibkan balik nama ke koperasi (penjelasan ini merupakan implementasi kebijakan yang konsisten dengan Pasal 12 ayat (2), (3).
4. Proses penerbitan izin dan verifikasi teknis/administratif untuk Angkutan Sewa Umum dan Angkutan Pariwisata saat ini berada pada kewenangan pemerintah pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan agar Raperda ini tidak meniadakan atau menggantikan kewenangan pusat.
5. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengenai izin dan penyelenggaraan angkutan pariwisata merupakan kewenangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, lingkup kewenangan Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Perhubungan Provinsi Bali hanya sebatas pada fungsi pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap layanan angkutan di lapangan, termasuk memastikan standar pelayanan sesuai dengan nilai budaya Bali dan menjaga kualitas layanan pariwisata.
“Pemerintah Provinsi Bali akan berfokus pada: a. Standar Pelayanan Minimal yang berlaku untuk layanan angkutan sewa khusus pariwisata; b. Pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha; c. Menindaklanjuti pengaduan masyarakat; d. Memastikan kepatuhan terhadap penggunaan label resmi kendaraan (Kreta Bali Smitha); e. Menjaga keberpihakan terhadap pelaku usaha lokal agar tetap terlindungi dari praktik persaingan usaha yang tidak sehat,” bebernya.
Lebih lanjut, ditekankan terhadap salah satu persyaratannya dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g disebutkan memiliki sertifikat kompetensi yang meliputi: pemahaman budaya Bali, etika pelayanan pariwisata, keselamatan, dan ketertiban berlalu lintas.
“Terhadap hal ini, Saya mengusulkan kata ‘kompetensi’ dihilangkan mengingat skema kompetensi pengemudi pariwisata belum tersedia pada layanan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Jadi pengemudi pariwisata cukup mendapat pelatihan/pendidikan oleh Dinas Perhubungan Provinsi Bali bekerja sama dengan stakeholder terkait, untuk mendapatkan pelatihan mengenai pemahaman budaya Bali, etika pelayanan pariwisata, keselamatan, dan ketertiban berlalu lintas,” katanya.
Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu pilar utama dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Raperda ini sangat penting untuk memperkuat kelembagaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di seluruh perangkat daerah, termasuk pedoman teknis, mekanisme koordinasi, serta pemanfaatan teknologi informasi.
“Terkait Hak Masyarakat atas Informasi, Perda ini nantinya dapat menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik yang cepat, dan tepat serta mendorong meningkatnya literasi masyarakat dalam memanfaatkan informasi secara bijak dan produktif,” imbuhnya.
Pihaknya mendukung pemberdayaan Komisi Informasi Provinsi untuk menjalankan fungsi penyelesaian sengketa informasi secara independen, adil, dan efektif, sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
“Yang tidak kalah penting, pada konteks partisipasi masyarakat dan dunia usaha, Raperda ini membuka ruang partisipasi masyarakat sipil, media, akademisi, dan sektor swasta dalam mendorong budaya keterbukaan, sehingga keterbukaan informasi publik tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah, tetapi juga gerakan bersama seluruh elemen masyarakat,” tandasnya. PBN001