Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Bali, mengadakan diskusi bertajuk ‘Profesionalitas Wartawan dalam Mendukung Kondusifitas Keamanan di Wilayah Provinsi Bali’, Jumat (4/10/2025) di Warung Mina, Renon, Denpasar.
Diskusi dipandu Sekretaris PWI Provinsi Bali I Ketut Joni Suwirya. Forum ini menghadirkan dua wartawan senior sekaligus praktisi media, Agus Putra Mahendra (PWI Bali) dan Rofiqi Hasan (Praktisi Media), serta dihadiri perwakilan dari berbagai organisasi pers di Bali, seperti AJI, IJTI, AMSI, SMSI, JMSI, IWO, dan UJB.
Rofiqi menekankan di era digital yang penuh persaingan dan kreatifitas media, dia menyimak media masih memerlukan spesifikasi liputan dan menjadi ciri khas kuat medianya.
“Jadi seolah-olah semua bermain di ceruk yang sama, tidak ada yang mencoba spesifikasi. Di mana karena berpikir viral itu, akhirnya menjadi bertanding di kolam yang sama,” ucapnya di awal pembukaan.
Ia menyoroti perlu dioptimalkan spesifikasi mendalam media dan tidak berpikir untuk hanya viral semata, misalnya spesifikasi di bidang pariwisata, ekonomi, kriminalitas, tentang perempuan dan sebagainya.
“Padahal kita lihat di tingkat nasional, spesifikasi tersebut mulai ada ya. Misalnya, dia di media online yang mengambil hukum atau liputan perempuan sangat eksis,” ucapnya.
Wartawan senior, Gus Hendra menekankan bahwa eksistensi wartawan agar memiliki kecerdasan emosional dan intelektual di lapangan. Selain itu, identitas diri seperti kartu identitas pers dan kelengkapan lainnya dalam bertugas sangat penting.
“Jangan sampai menjadi wartawan dengan gaya aktivis. Kalau berhasil dia dapat panggung, tapi kalau gagal teriak-teriak jadi wartawan. Di sini kita tetap kita harus mengedepankan rasionalitas. Sampai saat ini publik masih melihat wartawan sebagai seseorang yang intelek, di mana memakai rasionalitas dan emosionalnya diturunkan saat di lapangan. Bisa melihat secara objektivitas dan memiliki niat yang baik,” ucapnya.
Melalui peran wartawan diharapkan masyarakat dapat tercerdaskan dengan tulisan-tulisannya. Tetap mengedepankan rasionalitas dan intelektualitasnya.
“Kalau habitus kita bergaul dengan orang yang tidak memakai kode etik, kadang kita membuat sesuatu tanpa kode etik, begitu juga sebaliknya. Apalagi kita sekarang kita bergaul dengan media sosial, tetapi kita wartawan masih memiliki keunggulan dengan liputan kita yang mendalam, kode etik, menjaga kepercayaan publik, hingga legitimasi berita,” tegasnya.
Gus Hendra berbagi pengalamannya, misalnya di liputan kerusuhan agar tetap aman dan produk berita dihasilkan tetap berkualitas.
“Perlu dilakukan pemilihan diksi yang baik sangat penting. Kadang-kadang ada rasa emosional dan berusaha objektif. Kebenaran wartawan itu bukan materiil, tetapi verifikasi. Maka, pemilihan diksi sangat penting. Misalnya menyebutkan rusuh di Bali, padahal rusuhnya hanya di lokasi Polda Bali saja. Seseorang yang membaca ‘diksi’ seolah-olah menilai itu terjadi di seluruh Bali, karena situasi sudah viral. Jadi yang rugi kita semua. Saya mengetuk hati rekan-rekan wartawan, kita di sini punya tanggung jawab moral di sini,” tegasnya.
Selain itu, pendapat lainnya disampaikan peserta lainnya, wartawan senior Emanuel Dewata Oja atau akrab di sapa bang Edo, yang mana menekankan wartawan dapat saling menjaga kualitasnya di lapangan, ia menceritakan jangan sampai memanfaatkan sesuatu yang seharusnya menjadi kewajibannya terhadap narasumber. Misalnya, hak jawab yang menjadi hak narasumber. Hal penting lainnya, Edo menekankan wartawan tetap mengedepankan Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Hak jawab menjadi hak narasumber dalam mengklarifikasi isi berita yang sudah dimuat dan wartawan ngak boleh memanfaatkan untuk kepentingan materiil, hak jawab itu harus dilakukan terbuka,” bebernya.
Perwakilan UJB, Rohmat dari Kabarnusa.com, menekankan pentingnya independensi media agar tidak larut dalam kepentingan pemilik atau kekuasaan.
“Fungsi media adalah menyuarakan kepentingan publik. Kalau terlalu dekat dengan kepentingan tertentu, berita kita akan kehilangan daya kritis,” ujarnya.
Dari AJI, Ayu Sulistyowati menambahkan, wartawan perlu memperkuat kapasitas individu agar tetap relevan di tengah dominasi media sosial.
“Wartawan masih punya legitimasi karena bekerja dengan akurasi, verifikasi, dan kode etik. Itu keunggulan yang tidak dimiliki media sosial,” katanya.
Ketua Panitia Diskusi, Arief Wibisono, yang juga sebagai Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Bali, menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari upaya membangun kesadaran kolektif wartawan agar tetap berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik.
“Kehadiran Wartawan dalam peliputan apapun itu adalah untuk menjaga ruang publik agar tidak terjadi ‘Distorsi’ atau pemutarbalikan fakta, tetapi wartawan juga harus memikirkan keamanan dan keselamatan dirinya,” ucapnya.
PWI Bali berkomitmen memperkuat komunikasi dengan aparat para stakeholder agar setiap peliputan, termasuk saat terjadinya aksi massa, berlangsung aman tanpa gesekan.
“Wartawan adalah mitra strategis dalam menjaga kondusifitas daerah, terutama Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia. Informasi yang disajikan secara profesional akan memberi dampak positif bagi stabilitas sosial dan citra daerah,” tegas Arief.
PWI Bali menjaga keamanan dan kenyamanan Bali bukan semata tugas aparat atau pemerintah, melainkan juga tanggung jawab insan pers.
“Berita yang profesional bukan hanya memberi informasi, tapi juga menjaga keseimbangan sosial. Bali butuh wartawan yang cerdas, santun, dan berintegritas,” pungkasnya.
Diskusi ringan ini banyak memberikan masukan-masukan wartawan senior lainnya di Denpasar, sayangnya waktu yang singkat belum dapat menampung seluruh masukan dalam diskusi. PBN001