Pesona pesisir di Kabupaten Buleleng, tidak saja indah dipandang mata, tapi memiliki potensi ekonomi. Pengelolaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) garam di Desa Pemuteran Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, telah melakoni usaha garam rasa dengan target domestik dan mancanegara.
Potensi garam dikelola kelompok garam di Desa Pemuteran sangat unik, karena ada 13 rasa garam yang berhasil dikembangkan. Misalnya rasa bunga rosella, cabe, bawang putih, bombay, kopi, coklat, smoked, bunga teleng, flat salt, black salt, coarse salt, baby pyramid, fine grain salt, dan rasa terbaru adalah strawberry pyramid salt.
Terhadap kuantitas produksi garam rasa mencapai 1,2 Ton setiap bulannya. Peluang usaha ini sangat menjanjikan, sebab komoditi garam rasa harganya lebih tinggi dibandingkan garam biasa. Harga garam rasa berkisar antara Rp60 ribu sampai Rp200 ribu per kilogram, lalu garam biasa sekitar Rp1000 sampai Rp3000 per kilogram.
Nyoman Sutrisna selaku penggiat pariwisata di Buleleng mengatakan garam biasa tetap laku di pasaran Buleleng. Di sisi lain, ada potensi mengolah garam rasa, karena wilayah Buleleng sangat luas dengan garis pantainya. Buleleng dengan panjang garis 157,05 Km, potensi pengembangan di bidang kelautan sangat tinggi, dari lahan produksi tercatat 173,91 Ha, pemanfaatannya baru sebesar 33,49 Ha untuk digunakan sebagai lahan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR).
“Tentu potensi ini merupakan inovasi sesuai selera pasar. Petani garam tergerak membuat garam rasa karena tingginya permintaan,” tutur Sutrisna, mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kabupaten Buleleng dan tokoh masyarakat Kota Singaraja ini, Kamis (9/10/2025).
Menurut Sutrisna, pihak Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Dirjen KP3K, telah lama melirik dan membahas potensi garam rasa. Bahkan, dipromosikan ke pemerintah pusat.
Petani garam di Desa Pemuteran, merupakan contoh kreatifitas yang dapat terus didukung KKP, apalagi garam rasa sampai menembus pasar ekspor. Lanjut Sutrisna, pasar ekspor dimaksud hingga ke negara Italia, Belgia, Inggris, Jerman, dan Belanda. Di tingkat domestik garam rasa, di pasarkan di Kota Singaraja, Gerokgak, Ubud-Gianyar, Seminyak-Badung, dan di daerah wisata Kuta.
“Kita perlu terus mengembangkan garam rasa, potensinya bisa dipasarkan ke hotel-hotel di Bali. Salah satunya pengembangan sauna dengan menggunakan hawa panas garam. Semuanya dapat bersinergi, dari KKP, Pemprov, hingga Pemkab dapat mendukung garam rasa,” imbuh Sutrisna, yang murah senyum ini.
Swasembada Garam
Pemkab Buleleng telah melakukan inovasi dengan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) untuk meningkatkan swasembada garam di Bali Utara.
Diungkapkan Gubernur Bali dua periode, Wayan Koster, terdapat garam Bali yang dikenal dan bermanfaat untuk pasar domestik dan mancanegara. Garam terkait berasal dari Kusamba Klungkung, Amed Karangasem, Desa Les dan Pemuteran. “Garam Bali memiliki cita rasa berbeda dan kualitas yang baik, garam dari Kusamba, Amed, Les, hingga Pemuteran. Jadi mari kita rawat potensi dan kembangkan menjadi lebih baik ke depannya,” ucap Koster asal Desa Sembiran Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini.
Pengolahan garam tidak saja di Desa Pemuteran, tetapi dilakukan di Desa Gerokgak, Tejakula dan desa pesisir sekitarnya. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (DJKP3K), terus mendorong garam di Bali Utara, tidak saja menuju swasembada, tetapi pasarnya terus mengalami peningkatan.
Sementara itu, Drs. Riyanto Basuki, M.SI., mantan Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha, KKP DJKP3K dan juga mantan Kepala Pusat Riset Kelautan di Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, menuturkan penyegaran harga garam sangat penting dilakukan pasar.
“Salah satunya adanya penyegaran harga garam dan uji resi gudang, di mana pernah diusulkan ke Kementerian Perdagangan dalam mempertahankan garam. Ini karena garam produksinya maksimum lima bulan dan tidak ada produksi garam. Maka itulah, setiap kementerian bertugas mempertahankan kontinuitas garam selama setahun, dengan dilakukan pengawasan secara rutin,” tutur Riyanto.
Buleleng memiliki keunikan tersendiri dalam memproduksi garam dan mampu diekspor. Diketahui minim garam di Indonesia yang dapat diekspor ke luar negeri, di mana dominan mengimpor garam.
“Jika disimak, kebutuhan garam diperkirakan 3,3 Juta Ton di Indonesia. Separuh lebih kita impor untuk kebutuhan garam industri, yang swasembada hanya garam konsumsi saja,” ucap pria asal Yogyakarta ini.
Sejak Tahun 2011 Kabupaten Buleleng mendapatkan bantuan dari KKP, pada Tahun 2011 Buleleng mendapatkan bantuan dana sebesar Rp1,15 milyar, Tahun 2012 memperoleh bantuan sebesar Rp1,41 milyar, Tahun 2013 memperoleh bantuan sebesar Rp1,19 miliyar, Tahun 2014 Buleleng mendapatkan bantuan dana sebesar Rp682.730.000. Angka bantuan terus mengalami perubahan. Sedangkan, bantuan KKP secara nasional Tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp6,241 Triliun. Alokasi bantuan ke kabupaten disesuaikan pada usulan daerah dan program prioritas KKP yang disetujui.
Kendala Cuaca Buruk
Jika umumnya petani di lahan subur bersuka cita dalam menyambut musim penghujan, tetapi tidak demikian untuk petani garam. Umumnya petani garam memproduksi dengan memanfaatkan air laut dan sinar matahari dengan pola sederhana. Situasi cuaca buruk membuat produkasi garam berhenti total selama tiga bulan, tentunya ini membuat petani garam merugi.
Diungkapkan I Nyoman Sarya petani garam asal Desa Tejakula, Buleleng bahwa tidak dapat memproduksi garam di musim penghujan di bulan Desember. Menyiasati pendapatannya, ia memilih melaut mencari ikan untuk dijual.
“Jadi saya pernah tidak mendapatkan penghasilan dari bertani garam saat musim penghujan. Ini disebabkan cuaca buruk dan lahan garam saya terkena hujan. Sinar matahari yang kurang menghambat proses pengeringan air laut menjadi garam,” ungkapnya.
Senada dikatakan Luh Yuni, dari petani garam kini beralih profesi menjadi pencari batu pantai. Akibat minimnya penghasilan dan cuaca buruk, ia terpaksa beralih profesi mencarir batu pantai untuk mendapatkan uang dapur sehari-hari.
“Upahnya per ember dihargai Rp6.000 s.d. 15.000.,- tergantung kualitas batu yang dikumpulkan. Jadi alih profesi ini agar memiliki penghasilan baru dan makan sehari-hari. Biasanya saya bertani garam dan dalam sehari menghasilkan 20 Kg garam,” tuturnya.
Usaha petani garam dalam sehari dapat menghasilkan 20 s,d, 25 Kg garam per hari. Petani biasa menjual garam di pasaran mencapai Rp8.000 – Rp10.000.,- per Kg, tergantung jenis dan kualitas kehalusan garamnya. Maka itu, musim kemarau di bulan April – September, merupakan musim berkah untuk petani garam. Di sisi lain, usaha bertani garam masih memerlukan dukungan pemerintah, baik dalam produksi garam hingga pemasaran, dan menjaga harga jual di pasaran. PBN001