pilarbalinews.com

Bale Kertha Adhyaksa Bukan Unsur Lembaga Desa Adat, Tuntaskan Kasus Tanpa Peradilan dan Sesuai Prinsip Keadilan Restoratif

Gubernur Bali Wayan Koster, mendengar langsung masukan dari Fraksi-fraksi DPRD Provinsi Bali, menyangkut Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali.

Peranan Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, diharapkan mampu meminimalisir penanganan hukum ke tingkat peradilan, lembaga baru ini akan berperan menuntaskan permasalahan di tingkat desa adat. Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali akan menjembatani penyelesaian perkara sesuai kearifan lokal.

“Pertama materinya (Raperda) kan memang sudah matang. Sudah sepakat dengan DPRD, Fraksinya, materi juga sudah saya dalami betul. Sampai malam-malam (dipelajari), dari pengalaman saya legislatif ini (Raperda) oke,” ujar Koster usai mengikuti rapat di Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, perihal acara Jawaban Gubernur atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Raperda Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, Senin (11/8/2025).

Soal satu fraksi, Gerindra-PSI yang masih memberikan masukan lebih lanjut sebelum Raperda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, dituntaskan hingga ketok palu. Tentu bagi Koster, masukan terkait sangat penting untuk membenahi apa yang masih kurang dan ditambah dalam Raperda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali.

“Owh iya, substansinya sangat bagus. Hal itu akan menjadi perhatian untuk diskusi tatapan Gubernur besok. Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, itu bukan unsur lembaga desa adat, tetapi dia adalah lembaga yang ada di desa adat. Kalau lembaga desa adat itu, unsurnya adalah Prajuru Desa, Sabha Desa, dan Kertha Desa. Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat, sebagai pendampingan di desa adat,” papar Koster asal Desa Sembiran Kecamatan Tejakula, Buleleng ini.

Keberadaan Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, sebagai lembaga yang mendampingi mengenai persoalan hukum perdata, pidana, dan lainnya, di mana akan memberikan ruang lebih singkat tanpa berlanjut ke ranah peradilan.

“Kertha Desa untuk menyelesaikan hukum adat yang ada di desa adat, baik Awig-awignya, peraremnya. Sedangkan, Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat tidak mengambil ranah masalah itu. Sebab, masalah di desa adat itu kan banyak yaa, ada pidana, perdata, kategori ringan, itu bisa diselesaikan dengan forum ini. Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat adalah lembaga baru dan ini diakui dalam UU Nomor 1 Tahun 2023. Maka, begitu seseorang selesai di Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat, tidak akan berlanjut ke ranah hukum peradilan lebih lanjut,” tegasnya lagi.

Meski menjadi yang pertama di Indonesia, tetapi Raperda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, tetap akan mendapatkan tantangan, masukan, dan kritik di masyarakat, sebelum akhirnya diberlakukan mulai Januari 2026.

BACA JUGA  Curanmor Sasar Kostan, Motifnya Penuhi Kebutuhan Sehari-Hari

“Ini yang pertama di Indonesia, karena kebetulan Kejatinya koordinasinya bagus. Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat akan berlaku mulai Januari 2026. Ketika ini berlaku, Perda-nya sudah siap. Unsurnya (orangnya) bisa dari Desa Adat, bisa dari desa, tokoh, akademisi,” tandasnya.

Dua fraksi telah memberikan masukan pandangan umum, yakni Fraksi PDIP, Golkar, Demokrat-NasDem, yang dibacakan oleh I Gusti Ngurah Gede Marhaendra Jaya, SH. Sedangkan, Fraksi Gerindra-PSI dibacakan oleh Gede Harja Astawa, SH., MH.

“Memperhatikan urgensi keberadaan suatu lembaga adat yang mampu menjembatani penyelesaian perkara berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Demokrat-Nasdem DPRD Provinsi Bali memandang bahwa pembentukan Bale Kertha Adhyaksa merupakan langkah strategis dalam memperkuat sistem keadilan restoratif berbasis kearifan lokal Bali. Hal ini selaras dengan semangat Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, yang menempatkan desa adat sebagai pilar utama dalam menjaga keharmonisan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Bali,” terang Marhaendra Jaya.

Pihaknya mengatakan masyarakat Bali memiliki karakteristik warisan budaya serta kearifan lokal dalam penyelesaian perkara yang dapat diimplementasikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang dalam praktek dewasa ini disebut sebagai prinsip keadilan restoratif.

“Pengakuan terhadap hukum adat sebagai salah satu sumber hukum yang sah memberikan legitimasi bagi aktualisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat adat termasuk, hingga penerapan sanksi berbasis adat (customary sanctions) sebagai bagian integral dari sistem pemidanaan nasional, sepanjang penerapannya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, dan ketentuan konstitusional,” tegasnya.

Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa yang memiliki peran memfasilitasi penyelesaian sengketa adat, perkara pidana ringan, hingga konflik sosial secara restoratif melalui kerja sama dengan kejaksaan, kepolisian, perangkat desa, dan pecalang.

“Hal ini tentu sejalan dengan fungsi sebagai forum mediasi di tingkat desa yang menjembatani antara hukum adat dan hukum positif, dengan tujuan memulihkan hubungan antar pihak melalui musyawarah, bukan melalui peradilan formal,” pungkasnya.

Sementara itu, Gede Harja Astawa mengungkapkan beberapa hal, dimulai dengan penggunaan kata ‘ADYAKSA’ pada judul Raperda yang sudah menjadi brand Lembaga Kejaksaan, sehingga perlu dikaji kembali dan dipertimbangkan dengan pilihan yang lebih bijaksana dan lebih netral.

“Hal terkait karena penggunaan kata tersebut ‘ADYAKSA’ seperti pisau bermata dua jika pada tataran implementatif hasilnya tidak baik atau setidaknya tidak sesuai dengan harapan penggagas, hal tersebut bisa mencederai nama Adyaksa yang identik dengan nama Kejaksaan dan saat ini masyarakat memberikan apresiasi positif di bawah kepemimpinan Presiden RI, Bapak Prabowo Subianto. Kepercayaan terhadap Lembaga Kejaksaaan semakin tinggi dan ratingnya terus meningkat dalam penegakan hukum khususnya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi,” katanya.

BACA JUGA  FOX Jimbaran Beach Bali Hadirkan Hiburan Sounds of the Homeland

Harja Astawa menegaskan bahwa Fraksi Gerindra-PSI juga mesti memperhatikan keberadaan institusi penegak hukum lain, misalnya POLRI dan Pengadilan, bagaimana jika mereka juga menjadi inisiator berdirinya bale yang lain misalnya Bale Bayangkara untuk POLRI, atau Bale PENGAYOMAN untuk Pengadilan, bisa dibayangkan tingkat kerumitan yang akan ditimbulkan.

“Fraksi Gerindra-PSI memerlukan penjelasan dari Sdr. Gubernur tentang Naskah Akademik dan Penjelasan Raperda yang diajukan, karena setidak-tidaknya sampai dengan kami membacakan Pandangan Umum ini belum mendapatkannya, sehingga apakah tersedia NA demikian juga penjelasannya, terkait dengan penjelasan umum dan pasal demi pasalnya. Pertanyaan ini diajukan dengan merujuk pada ketentuan Pasal Pasal 33 ayat (3) jo Pasal 56 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, mengenai pentingnya penyertaan Naskah Akademik terhadap Raperda ini, karena bukan merupakan Raperda tentang pencabutan Peraturan Daerah atau perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi,” terangnya.

Seandainya, NA belum ada dan/atau penjelasannya belum tersedia, maka Fraksi Gerindra-PSI berpendapat sebaiknya pembahasan Raperda ini ditunda sampai dengan dibuatnya NA dan/atau penjelasannya karena hal itu merupakan panduan untuk memahami landasan filosofis, yuridis dan sosiologis pentingnya Raperda ini diajukan.

Masukan lainnya, Fraksi Gerindra-PSI mengenai terdapat perbedaan pilihan kata yang digunakan antara KONFLIK dan PERKARA, digunakan tanpa ada kejelasan rumusan kapan digunakan kata perkara dan kapan digunakan kata konflik.

Termasuk, Penggunaan kata Kertha pada Raperda BALE KERTHA ADYAKSA mengingatkan kita pada sejarah bahwa di Bali pernah dibentuk Peradilan Adat Bali (raad van kertha) yang pernah lahir sekitar tahun 1930-an harus ditutup dengan berlakunya Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tentang penghapusan lembaga peradilan adat tersebut, sebagaimana dapat disimak dalam salah satu penjelasan umum UU No. 14/1970 menyebutkan bahwa: peradilan adalah Peradilan Negara, dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan-peradilan Swapradja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Dan masukan-masukan lainnya. PBN001

Ket Foto: Suasana rapat di Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, perihal acara Jawaban Gubernur atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Raperda Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, Senin (11/8/2025).