pilarbalinews.com

Museum Pasifika Gelar Lokakarya, Menjaga Originalitas Karya Milik Seniman di Tengah Pesatnya Digitalisasi

Ket Foto: Para akademisi dan pelaku seni membahas pesatnya perkembangan AI dan digitalisasi, terhadap dampak atas karya-karya seni original milik seniman, Jumat (15/8/2025) di Museum Pasifika, Badung, Bali.

Perkembangan pesat digitalisasi memberi pengaruh signifikan terhadap karya-karya original dari tangan pertama seniman, tetapi berubah wujud bentuk ke dalam foto dan tersebar luar secara digital.

Perubahan pola penikmat seni, dari sebelumnya melihat langsung lukisan atau patung dan semacamnya, terkadang dapat dilihat langsung dari akses digital. Hal ini menarik di bahas, karena menyangkut kekayaan intelektual atau karya originalitas.

Apakah memotret karya seni lalu mempublikasikannya ke media sosial menjadi sesuatu yang lumrah saat ini? Di sisi lain, seniman berusaha mencari gagasan ide anyar terhadap karyanya untuk masuk dalam pameran.

“Kita menghadapi perkembangan teknologi yang luar biasa dan begitu kompleks, terutama hadirnya AI sebagai budaya digital kehidupan sehari-hari, otomatis ini berpengaruh ke dunia museum termasuk mereka yang mengoleksi karya-karya seni. Dilema luar biasa, misalnya kalau kita datang ke museum lalu kita video, foto, dan animasikan. Ini sudah menjadi problem siapa pemiliknya, milik museum, seniman, atau yang memotret?,” ujar Dr. Mikke Susanto selaku Staf Pengajar di ISI Yogyakarta, Jumat (15/8/2025) di Museum Pasifika, Badung, Bali.

Melalui lokakarya intensif selama tanggal 15-16 Agustus 2025 di Museum Pasifika, bertajuk ‘Cultural Heritage Digitization and Preservation: Adapt and Thrive in Cultural Digitization Environments’. Maka itu pula, dibahas isu dan etika berkomunikasi dunia digital kekinian.

“Seperti ada etika sebagai individu, institusi, hingga komunitas besar dunia internasional. Jadi kita tahu bagaimana negara China, Vietnam, dan negara lainnya mengurusi copy right. Salah satunya mempengaruhi duplikasi, maka perlu cara kita dalam berkehidupan, apalagi cukup banyak masalah kita terhadap hak-hak cipta selama ini. Ke depannya perlu dilakukan sosialisasi lagi untuk masalah ini,” tegas Mikke.

BACA JUGA  Timnas Indonesia Gelar Latihan Perdana di BUTC Jelang Hadapi China

Museum Pasifika sebagai pusat seni dan budaya di kawasan Asia-Pasifik, melakukan kolaborasi strategis dengan Shanghai Jiao Tong University (Tiongkok) dan RMIT University (Australia & Vietnam), menghadirkan para pakar internasional di bidang digitalisasi museum, etika AI, dan pelestarian warisan budaya.

I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem menjadi salah satu peserta dalam lokakarya terkait pengarsipan dan dunia digital yang digelar di Museum Pasifika. Ia menilai saat dunia berkembang pesat, tidak dipungkiri dunia digital menggerakan kehidupan individu digerakan data, dominasi, dan disrupsi.

“Semua pemangku kepentingan, baik privat maupun publik telah menyadari daerah dan kehidupan di Bali, lalu membawanya keberlangsungannya ke dalam dunia digital. Tidak hanya membawa seni budaya ke dalam format digital, tetapi juga memastikan itu secara komprehensif dan membawa keberlangsungan terhadap budaya kita,” beber Marlowe, yang juga aktif sebagai kurator pameran dan pelaku seni di Bali ini.

Marlowe menceritakan tanpa disadari melalui kemudahan-kemudahan yang diberikan teknologi digital, seperti adanya aturan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

“Semuanya bermuara dan bertumpu pada pakem. Ke depannya mari kita manfaatkan dunia digital ini untuk berkarya, membawa kemudian lebih luas lagi sesuai perkembangan generasi sekarang ini. Apalagi mereka lebih mudah memahami kehidupan dari teknologi. Apalagi kalau kita berkarya di dunia digital, mereka tidak hanya bicara tradisi, tetapi juga membentuk tradisi baru dalam dunia digital,” papar Marlowe.

BACA JUGA  Festival Sastra Saraswati Sewana 2025, Teknologi AI dan 4.0 untuk Kemajuan Peradaban

Diketahui lokakarya ini memberikan kesempatan bagi para profesional museum, akademisi, dan mahasiswa untuk memperoleh keterampilan praktis dalam digitalisasi 3D, digital storytelling, serta pemahaman etis terkait penerapan teknologi kecerdasan buatan di lingkungan museum.

“Museum Pasifika senantiasa berupaya menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi. Melalui lokakarya ini, kami ingin membekali para pelaku museum dan generasi penerus dengan pengetahuan serta keterampilan yang relevan, terjangkau, dan berkelanjutan, agar warisan budaya tidak hanya terjaga, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas melalui teknologi digital. Kolaborasi dengan para pakar internasional ini menjadi langkah penting dalam memperkuat posisi Museum Pasifika sebagai pusat pembelajaran dan pelestarian budaya di tingkat global,” ungkap Kadek Glady Laksmi Sugiri selaku Direktur Operasional Museum Pasifika.

Lokakarya terkait akan dibagi menjadi empat sesi utama, mencakup topik etika penggunaan AI dalam pelestarian budaya, digital storytelling untuk artefak, kurasi digital di Australia, hingga teknik pemindaian 3D berbiaya rendah.

Lebih lanjut, seluruh sesi akan dipandu oleh pembicara ternama, yaitu Dr. Emma Duester (Shanghai Jiao Tong University), Mrs. Michal Teague (RMIT Vietnam), Dr. Tammy Wong Hulbert (RMIT Australia), dan Mr. Ondris Pui (RMIT University). PBN001

Informasi lebih lanjut www.museum-pasifika.com

Didukung oleh: Shanghai Jiao Tong University, RMIT University, Departemen Manajemen Seni FSRD ISI Yogyakarta, Indonesian Museum Award, Komunitas Jelajah, Pemerintah Provinsi Bali, dan Majelis Kebudayaan Bali.