Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Consortium of Indonesian Manning Agencies (CIMA) Bali, menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Sailing For Freedom’, dalam meningkatkan kepastian hukum agensi untuk penempatan awak kapal, Rabu (13/8/2025).
FGD melibatkan organisasi DPP CIMA, DPW CIMA Bali, Kasubid, hingga Imigrasi, dan 14 agensi yang memberangkatkan awak kapal ke kapal pesiar dan kapal perikanan.
Saat ini, muncul dualisme aturan yang dikenal Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal (SIUKAK) atas dasar UU 66 Tahun 2024 Tentang perubahan ketiga UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Diundangkan 28 Oktober 2024.
Sedangkan, Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI), atas dasar UU 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan PMI; PP 22 Tahun 2022 Tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
“Jadi polemik penempatan awak kapal berlangsung lama sejak Tahun 2010. Pasca keluarnya UU 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), di mana semua pekerja di luar negeri disebut sebagai PMI. Sedangkan Pelaut atau Awak Kapal, memiliki kekhususan, karena pelaut tidak bisa dikategorikan sebagai PMI, karena ada tiga konvensi International Labour Organization (ILO) atau organisasi perburuhan internasional; C097 Tahun 1949; C143 Tahun 1975; dan Konvensi ILO dan keluarganya Tahun 1990. Ketiganya, menyatakan awak kapal tidak termasuk PMI,” ungkap I Nengah Yasa Adi Susanto, S.H., M.H., selaku Wakil Ketua CIMA Bali, yang akrab disapa Jro Ong.
Kemudian polemik berlangsung kembali saat Judicial Review munculnya Permenhub RI Nomor 59 Tahun 2021. “Judicial Review oleh sekelompok orang yang ingin membatalkan PMI, Mahkamah Agung (MA) tidak mengabulkan gugatan para pihak. Namun di pertimbangan hukum penempatan dan perekrutan awak kapal, tidak bisa disamakan dengan PMI. Sehingga yang berhak mengatur perizinan adalah kementerian perhubungan laut,” bebernya.
Selain itu, terdapat keputusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana putusan Nomor: 127/PUU-XXI/2023, diajukan oleh seseorang dan organisasi dalam meninjau Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 18 Tahun 2017 yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
“Gugatan ditolak MK, dalam pertimbangan MK, Awak Kapal Pelaut masuk dalam PMI. Nah, kesimpangsiuran putusan MK inilah masih berpolemik. Sekarang kita digiring, perusahaan agensi awak kapal yang memiliki SIUKAK. Intinya, khusus untuk penempatan awak kapal kita tetap menggunakan izin SIUKAK, yang sesuai dengan UU Pelayaran terbaru. Supaya kita tidak lagi dijadikan objek target aparat hukum karena tidak menjalankan aturan UU 18 Tahun 2017. Sedangkan dalam UU 66 Tahun 2024, terkait awak kapal,” tegasnya.
Menurut Alit Budi Sastrawan, Amd.PAR., CHt., SH., bahwa FGD menindaklanjuti diskusi BP3MI untuk membahas awak kapal asal Bali di bawah CIMA pusat.
“Apakah kami menggunakan SIUKAK atau SIP3MI? Melalui diskusi melibatkan Kasubid Kelautan dan Perkapalan dari Kemenhub, bahwa SIUKAK yang menaungi atau memberangkatkan awak kapal pesiar. Hal ini karena, pelaut ini bukan pekerja migran yang menetap 1 – 2 tahun. Pelaut ini berlayar dari satu negara ke negara lain,” ujar Alit.
Ia memaparkan UU 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan PMI, dan PP 22 Tahun 2022 Tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Hal terkait menjadi keresahannya. Ia mendorong Bali menjadi pilot project, agar usaha keagenan awak kapal dapat terus berintegrasi harmonis dengan BP3MI.
“Maka di sini sudah ada harmonisasi daerah untuk menekan pemerintah pusat. Sementara ini pemilik agensi menggunakan SIUKAK. Agensi yang memiliki SIUKAK, masih legal memberangkatkan anak-anak kita ke kapal pesiar,” imbuh Alit.
Diungkapkan Sekjen DPP CIMA Pusat, Capt. Akhmad Subaidi, M.Mar., AFNI., bahwa FGD mengajak perusahaan atau agensi perekrutan dan penempatan awak kapal pesiar, hanya membutukan SIUKAK.
“Jadi agensi perekrutan dan penempatan awak kapal pesiar hanya perlu SIUKAK. Namun, teman-teman agensi di Bali, juga menempatkan tenaga kerja di darat, tidak ada masalah, tetapi mereka juga perlu menambah SIP3MI,” katanya.
FGD diharapkan mensikronisasi aturan dari pemerintah ke pengusaha, meningkatkan literasi dan mendapatkan acuan terhadap penempatan awak kapal.
“Jelas ini tujuannya untuk melindungi laut Indonesia, agar mendapatkan kepastian aturan secara nasional Indonesia dan Internasional. Maka juga perlu memilih perekrutan awak kapal yang memiliki perizinan untuk keamanan dan keselamatan diri,” tegasnya.
Kasubdit Angkutan Laut Dalam Negeri Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub, Hasan Sadili, menegaskan bahwa semua aturan diterapkan sesuai amanat UU.
“Nanti bijaksana saja, dengan sudah ada keputusan MK dan MA, ya nanti berjalan sendiri-sendiri saja. Sampai saat ini tidak ada aturan yang menyebutkan jika ini yang berlaku dan itu tidak berlaku,” tegasnya.
Kadek Agus Arnawa Pengantar Kerja Ahli Muda BP3MI Bali, mengatakan terhadap dualisme UU, ia tidak dapat menyalahkan satu sama lain. Sebab, masing-masing UU tentu benar.
“Kalau ditanya mana benar dan tidak, kami tidak dapat menjawab, karena semua UU pasti benar,” katanya.
Ipda Putu Antariana, Kanit II Unit Ketenagakerjaan Ditreskrimum Polda Bali menegaskan menggunakan kacamata yang objektif, tugas kami adalah mencari data dan memilah fakta.
“Sejauh ini, faktanya Bali merupakan segmen besar pelaut pada kapal niaga atau pesiar di luar negeri. Pemegang SIUKAK atau SIP3MI, melakukan penyesuaian untuk memenuhi aturan,” tandasnya. PBN001